Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

30hari30film: Kite Runner (2007)


5 Ramadhan 1433 H




Kite Runner adalah film garapan Marc Forster yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Khaled Hosseini. Film berdurasi 128 menit ini berkisah tentang dua orang anak bernama Amir (Zekkeria Ebrahimi) dan Hassan (Ahmad Khan Mahmizada). Yang menarik tidak hanya mengenai persahabatan mereka yang sangat mengharukan, melainkan latar belakang kehidupan mereka yaitu perubahan politik di Afghanistan mulai dari moderat, lalu diinvasi oleh Uni Soviet, hingga berada di bawah konservatisme Taliban.

Amir dan Hassan secara latar belakang sosial tidaklah setara. Amir adalah anak majikan, sedang Hassan adalah anak dari pesuruh. Amir adalah seorang Pashtun, sedangkan Hassan beretnik Hazara. Seorang Pashtun, sering disebut-sebut sebagai “orang Afghanistan sejati”. Hal tersebut yang membuat persahabatan Amir dan Hassan seringkali diejek oleh Assef dan kawan-kawannya. Amir yang penakut, tidaklah sama dengan Hassan yang berani. Hassan tidak hanya sahabat baik bagi Amir, tapi pesuruh yang sedemikian taat pada sang majikan. Hassan pernah berani menodongkan katapel pada Assef yang terus menerus mengganggu mereka berdua.

Namun Amir dan Hassan menjadi partner yang setara ketika mereka bermain layangan. Amir pandai dalam beradu layangan, sedangkan Hassan selalu bisa menebak dimana layangan lawan jatuh untuk kemudian dipungut. Kelebihan Hassan ini tak pernah dilupakan oleh Amir bahkan hingga keduanya berpisah dan menjalani kehidupan dewasa. Singkat cerita, Hassan diketahui sudah meninggal dunia dieksekusi serdadu Taliban. Hassan meninggalkan seorang anak, yang amat ingin diadopsi oleh Amir. Amir (Yang sudah dewasa, diperankan oleh Khalid Abdalla) meninggalkan Amerika tempat tinggalnya, untuk kembali ke kampung halamannya, Afghanistan. Menembus barikade konservatisme Taliban, ia ingin menyelamatkan masa depan anak bernama Sohrab itu, sekaligus –lewat anak itu, Hassan ingin- mengabadikan masa kecilnya yang indah bersama Hassan.

Sebagaimana pada umumnya film-film yang diadaptasi dari novel, tentu saja banyak adegan yang dirasa sangat rancu dan terlihat dipadatkan. Misalnya, proses percintaan Amir dan Soraya (Atossa Leoni) yang begitu singkat. Namun hal ini bisa dipahami karena keterbatasan durasi film itu sendiri. Tentu saja, edisi film kerapkali mengecewakan bagi mereka yang pernah membaca novelnya. Namun bagi yang menonton Kite Runner tanpa pernah membaca novelnya, mungkin akan terpesona tidak hanya oleh jalan ceritanya yang brilian, tapi juga situasi Afghanistan yang akrab dengan dinamika politik yang amat kontras. Melihat politik dari sudut pandang anak kecil memang selalu menarik karena kita melihat dua wilayah yang sangat kontradiktif (seolah-olah kedua wilayah, baik dunia politik dan dunia anak-anak, tidak pernah sanggup memahami satu sama lain). Ini terlihat dari film-film serupa seperti Persepolis (latar belakang politik Iran) dan Blue Kite (latar belakang politik Cina).

Rekomendasi: Bintang Empat

Comments

  1. one of my favorite...watched this again and again...

    ReplyDelete
  2. makasih reviewnya Kang, jadi pengen namatin novelnya lagi nih :) salam.

    ReplyDelete
  3. terima kasih apresiasinya.. selamat menonton, membaca dan mengapresiasi :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1