Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Panoptikon adalah konsep arsitektur yang digagas oleh Jeremy Bentham di akhir abad ke-18. Terdiri dari dua kata yaitu pan yang berarti semua dan optikon yang artinya mengamati, panoptikon bisa dipahami sebagai: "desain gedung yang memungkinkan satu pihak bisa mengawasi seisi gedung tanpa yang diawasinya merasa terawasi."
Konsep panoptikon ini terutama diterapkan dalam penjara. Contoh terbaiknya ada pada bangunan penjara Presidio Modelo di Kuba. Seperti ini dia gambarnya:
Gambar diambil dari sini. Lisensi milik Friman. |
Menara di tengah ini adalah kunci konsep pengawasan yang ditawarkan Bentham. Menara tersebut berputar dan di dalamnya ada sipir yang mengamati dengan seksama sel-sel di sekelilingnya. Michel Foucault melihat bahwa terlepas dari ternyata tidak ada sipir di balik menara tersebut, struktur kesadaran para napi akan menganggap dirinya selalu berada dalam pengawasan. Foucault kemudian mengabstraksi konsep panoktikon ini dalam kritiknya terhadap apa yang ia sebut sebagai "metode disiplin modernitas".
Apa yang dipikirkan oleh Foucault ini baru saya pahami kala berjalan-jalan di salah satu mal di Jakarta. Setelah keluar dari tempat mainan bersama sepupu, saya melihat televisi layar datar yang bertuliskan: "smile, you're always on tv."
Meski tidak mengacu pada panoptikon sebagai sebuah konsep arsitektur, namun cara kerjanya persis. Dengan ramah, si televisi berbicara seperti menara di Presidio Modelo. Ia hendak menunjukkan bahwa meski mungkin saja tidak ada korelasi serius antara ucapan di atas dengan tingkat keamanan yang sesungguhnya, namun kalimat tersebut menunjukkan bahwa kita mesti mengafirmasi diri bahwa kita ada pada posisi diobjekkan, dikuasai, dan tidak punya daya upaya untuk melarikan diri.
Yang hendak disoroti tentu saja bukan metode pengamanan yang bisa jadi efektif untuk menjauhkan pasar dari serbuan pengutil. Yang mau dibicarakan adalah kenyataan bahwa tanpa harus mendekam di balik sel, kita bisa ikut merasakan bagaimana dikuntit oleh kekuasaan. Sang kuasa ini tak sanggup menguasai dirinya dari melihat apa yang perlu dilihat saja. Meski ia ditujukan pada mulanya untuk mengamankan mal, namun sesungguhnya kuasa tersebut menjadi semacam eye of god yang menciptakan suatu penjara psikologis dalam kesadaran kita.
Perasaan ngeri ini mengingatkan saya pada film The Truman Show karya sutradara David Weir tahun 1998. Truman Burbank yang diperankan Jim Carrey, berada pada situasi serupa sejak ia lahir: Berada dalam setting acara televisi bernama The Truman Show yang menjadi tontonan seluruh dunia. Celakanya, selama 30 tahun, ia merasa bahwa apa yang ia jalani adalah kehidupan yang sejati -bukan artifisial ciptaan sang sutradara, Christof. Film ini dampaknya cukup besar sehingga timbul suatu penyakit psikologis bernama Truman Show Delusion. Para pengidapnya merasa hidupnya diawasi terus menerus dan ditonton oleh orang di seluruh dunia. Mereka tidak percaya bahwa hidupnya adalah kenyataan, jangan-jangan seisi manusia hanyalah aktor belaka.
Kita tidak akan jauh-jauh mengaitkan The Truman Show dengan sebaris kalimat di mal tadi. Namun ada benang merah yang bisa kita tarik: Bahwa antara Truman Burbank dan para pengunjung mal, keduanya sama-sama tidak punya kuasa untuk melihat apa yang terjadi di balik kamera. Bisa memang diawasi, bisa tidak sama sekali, atau malah menjadi objek voyeur yang menyenangkan.
Penjelasan serta analogi yang ciamik sekali om Syarif, salam hangat dari Buahbtu Bandung
ReplyDeletesalam hangat ti margahayuraya! :D
ReplyDeleteWaw, penjelasan konsep yang bagus. Mudah di Mengerti
ReplyDelete