Meski aku sering kemana-mana sendiri, konsep kesendirian bukanlah hal yang akrab denganku. Maksudnya, dalam kesendirian, aku selalu terdistraksi, untuk nge- scroll Twitter, cari teman ngobrol di Whatsapp, atau apa sajalah yang penting jangan sampai jatuh pada kesunyian, jangan sampai sendiri banget . Tentu saja, seorang pengkaji filsafat harus punya waktu-waktu sendiri, untuk membaca teks secara intens, untuk berefleksi, aku butuh itu, tetapi sekali lagi, konsepnya bukan dalam kesendirian, tetapi lebih tepatnya: dalam sebuah lingkungan yang aku nyaman di dalamnya. Aku mesti membangun sekelilingku dulu, enjoy dengan itu, baru aku bisa menulis dan membaca dengan khidmat. Apa bedanya konsep semacam itu dengan kesendirian? Beda. Kesendirian adalah kenyamanan akan diri, dalam diri, tanpa perlu sibuk menyiapkan lingkungan eksternal. Kesendirian adalah buah dari pergulatan batin yang sibuk, untuk kemudian tak lagi menganggap lingkungan eksternal sebagai sesuatu yang krusial, karena kit
Santiago adalah tokoh sentral dalam Sang Alkemis, sebuah novel yang ditulis oleh Paulo Coelho dalam bahasa Portugis dan diterbitkan tahun 1988 dengan judul O Alquimista. Apa yang anak gembala tersebut lakukan? Santiago mengikuti mimpi-mimpinya tentang harta karun di Piramida-Piramida. Awalnya ia ragu apakah ia harus tetap tinggal bersama domba-domba yang sudah ia akrabi hampir sepanjang hidupnya, atau pergi menuju mimpinya, yang mana membuat ia, mau tidak mau, mesti bertualang ke Mesir dan tentu saja meninggalkan kehidupan sehari-harinya yang nyaman.
Santiago, dengan dorongan keyakinan dari seorang raja misterius bernama Melkisedek, akhirnya memutuskan untuk pergi demi tersingkap apa yang jadi kepenasaranannya selama ini. Ia meninggalkan domba-domba dan menyerahkan diri pada tantangan-tantangan yang tidak terduga: Mulai dari membantu pedagang kristal, berhadapan dengan padang pasir, berlabuh di oase -tempat ia kemudian menemukan cintanya, Fatima-, hingga akhirnya bertemu dengan sang alkemis yang bijaksana -yang punya peran dalam bagaimana akhirnya Santiago menemukan 'harta karun yang sesungguhnya'-. Modal keberanian bagi Santiago adalah sebaris kalimat yang berdengung cukup sering: "Saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya."
Kalimat terakhir tersebut meski menjadi tagline yang paling sering keluar dalam Sang Alkemis, namun pesan yang dikandung secara keseluruhan agaknya tidak sesimpel itu. Sekilas, kalimat tersebut agak mirip dengan law of attraction yang diceritakan dalam buku motivasi best-seller berjudul The Secret. Law of attraction berintisari kurang lebih mirip: Jika kita berpikir tentang sesuatu, maka hal tersebut akan sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Namun bebauan self-help ini bisa terhapuskan jika kita sungguh-sungguh menghayati kandungan Sang Alkemis secara lebih holistik.
Paulo Coelho hendak mengajarkan pada kita tentang bagaimana menghayati diri sebagai alam semesta mikro yang bersemayam. Sesuai apa yang disebut oleh Aristoteles, "Kita bisa memahami yang general dari hal-hal yang partikular." Coelho menyebutnya sebagai Jiwa Dunia, semacam kesadaran purba yang agaknya sudah tereduksi oleh antroposentrisme yang berpusat pada "aku berpikir" ala Cartesian. Lewat perjalanan Santiago di padang pasir, novel Sang Alkemis hendak berkata bahwa aku dan angin, aku dan pasir, aku dan matahari sesungguhnya tiada beda, seperti halnya pelbagai logam sebelum ia berevolusi puncak menjadi emas.
Berat? Dalam lapisan tertentu, memang iya. Sang Alkemis seperti pengejawantahan dari pemikiran mutakhir filsuf Heidegger yang bicara tentang "benda yang menampakkan dirinya yang asali pada kita." Namun pernyataan Heidegger tidak datang dari ruang hampa, ia justru ditopang oleh Filsafat Timur yang sudah sejak lama merenungkan hal-hal seperti ini. Jadi kalau kita bilang Sang Alkemis penuh dengan bebauan pemikiran Timur, sama sekali tidak ada salahnya.
Mereka yang gagal memahami Sang Alkemis, kemungkinan bisa terjerembab pada persepsi bahwa buku ini adalah buku motivasi agar kita bersungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu. Prinsip semacam itu terlalu klise untuk dituliskan dalam karya sastra sebaik literatur Coelho ini. Akan terlalu banyak pesan penting yang dilewatkan jika kita buru-buru menangkap bahwa buku ini adalah buku self-help.
Apa yang Anda maksud dengan kesadaran purba?
ReplyDelete