Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual. Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala
*) Diambil dari artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Teropong, 13 Februari 2017.
Sutradara yang kesulitan mendapat tempat di layar lebar, mempunyai kesempatan agar filmnya diputar di bioskop alternatif. Di Bandung, kesempatan itu salah satunya datang dari satu komunitas bernama Warung Film (sub-divisi dari komunitas Ruang Film Bandung) yang mengelola sebuah tempat di Jalan Banda, bernama Indi Sinema –terletak di gedung Bale Motekar lantai tiga-. Bekerjasama dengan UNPAD dan DILo (Digital Innovation Lounge), mereka kerap menjadi penyelenggara bagi pemutaran film dari para sutradara muda yang filmnya belum berhasil menembus pasar bioskop umum.
Sutradara yang kesulitan mendapat tempat di layar lebar, mempunyai kesempatan agar filmnya diputar di bioskop alternatif. Di Bandung, kesempatan itu salah satunya datang dari satu komunitas bernama Warung Film (sub-divisi dari komunitas Ruang Film Bandung) yang mengelola sebuah tempat di Jalan Banda, bernama Indi Sinema –terletak di gedung Bale Motekar lantai tiga-. Bekerjasama dengan UNPAD dan DILo (Digital Innovation Lounge), mereka kerap menjadi penyelenggara bagi pemutaran film dari para sutradara muda yang filmnya belum berhasil menembus pasar bioskop umum.
Indi Sinema ingin agar tempat tersebut menjadi satu persinggahan bagi para sutradara yang menginginkan alternatif tempat pemutaran film yang tidak membutuhkan persyaratan serta perjanjian yang rumit. Menurut Rhisa, humas Indi Sinema, “Keberadaan kami adalah dalam rangka memberi ruang pemutaran film bagi para sutradara, sehingga setidaknya mereka menjadi lebih percaya diri sebelum memasuki respon pasar yang lebih luas.”
Indi Sinema sendiri dibuat sedemikian rupa agar suasananya seperti bioskop pada umumnya: ada pendingin, layar lebar dan ruangan nyaris tanpa cahaya, serta tempat duduk nyaman. Hanya saja, kapasitasnya relatif kecil yaitu hanya terbatas sekitar lima puluh orang. Mereka mempunyai jadwal pemutaran rutin hampir sehari tiga kali dan hanya libur pada hari Senin. “Pemutaran akan terus dilakukan, meski tidak ada penonton,” kata Rhisa. Untuk beberapa pemutaran tertentu, Indi Sinema menarik semacam donasi bagi mereka yang menonton –donasi tersebut hanya kisaran sepuluh hingga lima belas ribu-. Dengan cara tersebut, selain menjadi jalan untuk menghidupi bioskop alternatif itu sendiri, mereka juga dapat memberikan separuhnya pada pembuat film.
Beberapa film yang pernah diputar di Indi Sinema antara lain Urbanis Apartementus (2013), Karbon dalam Ransel (2014), Pulau Bintang (2014), Jelaga Asa Belantara (2016), dan Bendera (2016). Meski umumnya Indi Sinema memutar film-film yang belum mendapat kesempatan di gedung bioskop umum, tapi ada pula beberapa film yang statusnya “turun layar” atau pernah diputar di bioskop umum dan kemudian sudah selesai masa penayangannya. Mereka juga menerima pemutaran film untuk kategori lain, seperti film dokumenter panjang, film fiksi panjang, film edukatif, dan kompilasi film pendek.
Namun secara umum, Indi Sinema menunjukkan dukungan serius terutama bagi perkembangan film-film dalam negeri yang menurut Rhisa, “Sangat berlimpah dan potensial, namun seringkali terhambat regulasi serta seleksi pasar yang terlampau ketat.” Dengan menggeliatnya bioskop alternatif seperti Indi Sinema ini, maka boleh kita berharap: Sutradara dalam negeri semakin produktif berkarya dan semakin tidak gentar dengan momok bernama pasar. Ketika film tersebut diapresiasi, maka konsekuensi positif akan datang dengan sendirinya, dan memberikan satu kepuasan tak ternilai bagi sang pembuat film.
Ruang Film Bandung
Indi Sinema dengan Warung Film sebagai pengelolanya, mungkin hanya sebagian kecil dari program komunitas Ruang Film Bandung yang memang sangat memberi perhatian bagi perkembangan film, khususnya film lokal. Selain pengelolaan bioskop alternatif, Ruang Film Bandung juga cukup rutin berkolaborasi dengan pihak-pihak lain untuk menyelenggarakan kegiatan. Misalnya, kerjasama dengan Telkom University untuk membuat kelas film pendek dengan durasi delapan pertemuan. Di akhir pertemuan, harus ada hasil berupa film yang kemudian diapresiasi secara bersama-sama. Selain itu, ada juga pelatihan produser film yang merupakan kerjasama dengan Dinas KUKM dan Perindag Kota Bandung serta even Bandung Youth Short Film Competitions (ajang penghargaan film untuk pemuda atau komunitas film di Bandung) yang bekerjasama dengan Dispora Kota Bandung.
Mereka juga menggelar sebuah program bernama Klinik Film. Pada Klinik Film tersebut, diputar sekitar tiga film pendek untuk kemudian dikomentari dan dianalisis oleh tiga orang akademisi, pengamat, atau penikmat film yang sudah dipilih oleh panitia. Misalnya, bulan Oktober 2016 lalu, diputar tiga film pendek berjudul Senyum Sempit, Salam dari Anak-Anak Tergenang, dan Fashion Syndrome, dengan menghadirkan tiga analis yaitu Esa Hari Akbar, Vanny Rantini, dan Harry Reinaldi.
Ina Khuzaimah, salah seorang pendiri Ruang Film Bandung, menyebutkan tentang visi misi komunitas ini, “Kami ingin membangun ekosistem sinema lokal, khususnya Bandung, agar terus menggeliat dan dapat bersaing dengan perfilman nasional atau bahkan mancanegara.” Ikhtiar semacam itu memang tidak pernah mudah dan kerap membutuhkan napas panjang. Kita, selaku masyarakat, turut andil dalam mendukung –termasuk mengawasi- sepak terjang Ruang Film Bandung agar terus konsisten memajukan ekosistem sinema lokal. Salah satu bentuk dukungannya bisa dimulai dengan mendatangi bioskop alternatifnya dan menjadi penonton yang tidak hanya apresiatif, tapi juga kritis.
Comments
Post a Comment