Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

(Bioskop Alternatif) Bioskop Alternatif Berkembang Sebagai Ruang Diskusi (1 dari 5)

 
*) Diambil dari artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Teropong, 13 Februari 2017.

Dari sekian banyak jenis hiburan yang khas di perkotaan, tentu gedung bioskop menjadi salah satu pilihan yang tidak lekang oleh waktu. Di gedung bioskop, kita bisa menyaksikan film dengan suasana yang dibuat sedemikian rupa sehingga apa yang ditayangkan menjadi terasa lebih megah dan kadang terasa lebih nyata –layar besar, lampu digelapkan, tempat duduk nyaman, dan sound system yang mumpuni-. Hal tersebut tentu menjadi sensasi tersendiri, dibanding jika kita menonton film melalui televisi. Selain itu juga, hal yang menjadi pembeda antara menonton film lewat televisi dan di gedung bioskop, adalah ini: Film yang diputar di bioskop, adalah film-film yang relatif baru dirilis; sedangkan televisi, biasanya lama kemudian setelah film tersebut diputar di bioskop. 

Namun tidak sedikit masyarakat awam yang menganggap bahwa film yang diputar di gedung bioskop adalah film-film “terbaik” pada masanya. Memang pendapat tersebut tidak keliru, tapi bisa sedikit diperdebatkan. Kenyataannya, banyak film-film berkualitas yang tidak diputar di gedung bioskop, karena berbagai pertimbangan, misalnya: durasi terlalu panjang, berasal dari negara yang tidak terlalu populer dengan filmnya (misalnya, negara-negara di Afrika atau Skandinavia), atau topiknya terlalu “berat” sehingga khawatir tidak laku dijual. Artinya, pertimbangan pasar tentu menjadi hal yang utama bagi gedung bioskop yang notabene didirikan untuk meraup keuntungan. 

Lantas, apakah fungsi film adalah melulu harus memenuhi fungsi hiburan? Tentu saja, sebagaimana umumnya sebuah seni, unsur rekreasi tentu harus menjadi salah satu bagiannya. Tapi film, pada dasarnya, juga ada fungsi lain seperti edukasi, refleksi, hingga ke perubahan sosial. Adakah kita dapat temui film-film seperti itu? Ada, jika kita bicara bioskop yang melepaskan dirinya dari definisi-definisi umum tentang gedung bioskop yang dibuat semata-mata untuk kepentingan bisnis. Kita sebut saja bioskop tersebut dengan sebutan: bioskop alternatif. 

Geliat Bioskop Alternatif 
Contoh komunitas yang rajin mengelola bioskop alternatif di Bandung adalah Layarkita. Berdiri sejak tahun 2011, komunitas tersebut aktif mengadakan pemutaran film setiap hari Senin di Auditorium Pusat Kebudayaan Prancis (IFI – Bandung). Film-film yang diputar sangat beragam dan tidak akan bisa kita temukan di gedung bioskop umum seperti Blitz Megaplex atau Cinema 21. Misalnya, ada film-film yang berasal dari Afrika, Eropa, hingga Timur Tengah –yang umumnya sulit untuk kita temukan di gedung bioskop yang umum-. Tidak hanya itu, film-film yang diputar juga ada yang berasal dari tahun-tahun yang sudah lampau, seperti Battleship Potemkin (1925), Seven Samurai (1954), Twelve Angry Men (1957), Bande a Part (1964), hingga 2001: A Space Odyssey (1968).

Penyelenggara bioskop alternatif di Bandung tidak hanya LayarKita. Ada juga Sinesofia, Kineruku, Selasar Sunaryo, Klab Jazz Sinematheque, Garasi10, hingga yang pernah aktif di masa-masa awal, yaitu Sinerupa Pirous (sekitar tahun 1998 hingga 2002). Selain itu, ada juga Warung Film (yang merupakan divisi di bawah komunitas Ruang Film Bandung), yang berkegiatan di Bale Motekar dan bekerjasama dengan UNPAD serta Digital Innovation Lounge (DILo). Mereka mengurus satu ruang yang memang dibuat sedemikian rupa agar seperti ruang bioskop (meski berukuran lebih kecil). Warung Film menawarkan pemutaran film secara reguler hampir setiap hari (kecuali hari Senin) dengan film-film yang utamanya mempunyai semangat indie. Artinya, film-film yang diputar, adalah film yang belum menembus layar lebar, atau sudah turun layar tapi belum sempat diapresiasi oleh orang banyak. Intinya, ada semangat untuk mendukung karya-karya sutradara lokal terutama mereka yang termasuk ke dalam generasi muda. Di sisi lain, pemerintah pun turut memberi perhatian bagi keberadaan bioskop alternatif di Kota Bandung. Misalnya, dengan memberikan fasilitas berupa Taman Film di wilayah Balubur. Meski demikian, Taman Film ini sepertinya masih belum dapat menjadi tempat pemutaran film yang menjadi pilihan utama para cinephile. Selain karena belum adanya jadwal pemutaran film secara reguler, juga secara pengelolaan masih belum jelas. Untuk hal-hal terkait penyelenggaraan screening film yang sifatnya insidentil saja, dibutuhkan birokrasi yang agak berbelit-belit. Meski demikian, Taman Film tetap dapat menjadi harapan para cinephile untuk ke depannya menjadi bioskop alternatif yang berkualitas, terutama dari segi tata suara dan sensasi menonton film di ruang publik yang relatif luas. 

Namun terlepas dari keberadaan Bale Motekar dan Taman Film yang cenderung sudah terfasilitasi secara baik, pada dasarnya bioskop alternatif dapat terselenggara selama ada proyektor, layar (tidak harus, bisa ditembakkan ke tembok), speaker aktif, pemutar (di zaman sekarang, bisa menggunakan laptop), dan tentu saja, material filmnya. Selain itu, ada hal yang patut dipandang sebagai sebuah kelebihan dari bioskop alternatif -selain film-filmnya yang “aneh” dan indie- yaitu kenyataan bahwa bioskop alternatif sering berkembang menjadi sebuah forum diskusi. Hal tersebut tentu didorong oleh beberapa faktor, misalnya: Jumlah orang yang tidak sebanyak bioskop umum, sehingga secara kuantitas menjadi cukup kondusif untuk melakukan diskusi dan dengar pendapat; tempat pemutaran biasanya merupakan tempat yang juga sering digunakan untuk aktivitas lain, seperti rumah tinggal, kafe, ataupun perpustakaan, sehingga suasananya lebih cair daripada gedung bioskop yang fungsinya relatif tunggal hanya untuk menonton film; serta material filmnya memang menarik untuk menjadi bahan diskusi, karena umumnya bisa ditafsirkan dalam berbagai sudut pandang –tidak seperti film yang punya fungsi hiburan semata, yang memang dibuat agar mudah dimengerti-. Intinya, di bioskop alternatif, kebutuhan para cinephile (penggila film) mungkin malah lebih terpuaskan daripada di gedung bioskop umum. 

Bioskop alternatif bisa jadi semacam ikhtiar jangka panjang. Di tengah terpaan media dewasa ini yang kadang sudah tidak peduli lagi aspek edukasi, refleksi, dan gerakan sosial (karena sudah terlalu menghamba pada pasar), bioskop alternatif terus berjuang menghadirkan tontonan yang meski jauh dari kepentingan pasar, tapi punya nilai-nilai yang bisa mencerdaskan penonton kita. Bioskop alternatif ingin pelan-pelan membentuk satu kesadaran dalam masyarakat, bahwa film tidak hanya seperti petasan: Seru sesaat setelah itu hampa. Film tertentu bisa dibahas dengan sangat tidak terbatas, seperti contohnya: gaya sinematografinya (Truffaut dan Godard dengan French New Wave-nya atau Fellini dan De Sica dengan Neo-Realisme Italia-nya), aspek historis dan sosial politik ketika film itu dibuat (film Birth of A Nation dan perang sipil di Amerika, atau The Godfather dan perubahan kepemimpinan di Kuba), psikologi sang sutradara (Alfred Hitchcock yang film-filmnya selalu kental dengan nuansa psikoanalisis) dan masih banyak hal lainnya. 

Memang, sekilas, seolah-olah film menjadi hal yang kemudian dibahas secara bertele-tele dan bisa jadi berlebihan. Namun setidaknya, dengan hadir ke bioskop alternatif, artinya ada bagian dari masyarakat kita yang mau mencoba untuk duduk-untuk-mengerti, berdiskusi, dan tidak begitu saja terbawa oleh arus pasar yang belum tentu benar. Jangan sampai kita menjadi seperti yang dikatakan sutradara Garin Nugroho, yang ucapan tersebut penulis dengarkan dalam sebuah forum filsafat pada sekitar tahun 2012, bahwa, “Kelemahan masyarakat kita adalah selalu ingin menonton film yang langsung bisa dimengerti. Jika ia tidak mengerti, maka ia akan menyimpulkan bahwa filmnya tidak bagus.”



Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1