Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Musik Doa Sang Troubadour

*) Dimuat di Rubrik Opini Harian Umum Pikiran Rakyat, 1 September 2016 dalam rangka ulang tahun Iwan Abdurrahman. 

Dalam sebuah kesempatan ketika memberikan siraman rohani – atau juga semacam orasi budaya- di kampus Telkom University pada tahun 2014, Iwan Abdul Rahman (berikutnya disebut dengan Abah Iwan) mengatakan bahwa kurang tepat jika ada yang menyebut dirinya sebagai penyanyi folk atau balada. Ia lebih senang disebut sebagai troubadour, yang Abah Iwan definisikan sebagai “orang yang ngobrol dan bernyanyi, mengelilingi api unggun, di depan teman-temannya.” Pernyataan tersebut mungkin bisa dijadikan dasar mengapa musik Abah Iwan terdengar begitu akrab dan jujur. Karena itu tadi, ia selalu menekankan bahwa: Saya bernyanyi untuk teman-teman saya. 

Upaya membicarakan musik Abah Iwan barangkali malah bisa mereduksi kejujuran melodi dan iringannya. Ibarat membedah musik blues yang pada mulanya tampil sebagai sebuah ekspresi spontan dari kemurungan para pekerja Afro-Amerika yang tertekan di bawah perbudakan di sekitar abad ke-18 dan ke-19. Blues memang kemudian dapat diteoritisasi dengan misalnya penggunaan nada pentatonis dan skema dua belas bar yang terkenal itu. Tapi pemain blues yang hebat selalu dapat lepas dari teori-teori, dan menghayati kembali spontanitas dan kemurungan yang menjadi spirit kelahirannya. Artinya, boleh saja dalam tulisan ini kita melakukan teoritisasi atas musik Abah Iwan, tapi harus selalu ingat bahwa spirit bermusik Abah Iwan adalah yang seperti ia sudah tekankan: Saya bernyanyi untuk teman-teman saya. 

Gaya Bertutur 
Mari berimajinasi tentang apa yang dilakukan Abah Iwan dalam proses penciptaan lagu: Sebagai seorang pecinta alam, di tengah-tengah rehat pendakian gunung ataupun ekspedisi alam lainnya, Abah Iwan memetik gitar, dan bersenandung untuk menghibur teman-temannya. Lagu yang dimainkan, tidak selalu yang sudah pernah ditulisnya. Ada juga yang spontan, langsung tercipta di saat itu lewat gumaman-gumaman yang muncul dari refleksi atas alam yang sedang ia tadaburi. Akor iringannya tergolong sederhana. Bahkan lagu satu dengan lainnya bisa tidak terlalu berbeda. Mungkin hal tersebut dilakukan Abah Iwan agar ia fokus pada pengkomunikasian syair, bukan pada kerumitan akor iringan. 

Itu sebabnya lagu-lagu Abah Iwan selalu terasa seperti orang yang sedang bicara (baca: ngobrol). Jika Abah Iwan tampil live, terutama jika tampil hanya dengan iringan gitar (yang menjadi maksimal jika ia sendiri yang memainkannya dan bukan orang lain), tidak jarang melodi lagu tersebut ia nyanyikan secara lebih lepas –dengan tempo dan ketukan yang tidak terlalu mengikat-, agar efek ngobrolnya lebih terasa. Tentu saja, gaya bertutur ini erat kaitannya dengan lirik yang ia tulis, yang memang bersifat naratif – sebagaimana umumnya musik balada-. Meski tidak dapat dikatakan identik, namun dalam konteks musik seni Barat, gaya bertutur semacam itu dapat ditemukan dalam musik opera (khususnya opera jenis resitatif). Seorang aktor atau penyanyi mempraktikkan teknik bernama sprechgesang, yaitu teknik bernyanyi sambil bicara –atau sekaligus juga bicara sambil bernyanyi-.

Troubadour 
Dalam literatur yang penulis baca, tidak ditemukan kaitan antara troubadour dengan “menyanyi di depan api unggun, di depan teman-teman” seperti yang didefinisikan oleh Abah Iwan. Namun jika ditelusuri lebih jauh, akan ditemukan hal-hal menarik seputar troubadour, yang bisa sangat dikaitkan dengan musik Abah Iwan. Troubadour adalah orang yang berpuisi dengan menggunakan lagu di era Abad Pertengahan Akhir (sekitar tahun 1100 – 1350) yang umumnya menggunakan bahasa Occitan Lama (bahasa yang sekarang sudah hampir punah, yang dulu berkembang di kawasan Prancis bagian selatan, hingga ke Italia). Selain berpuisi dengan menggunakan lagu, fungsi seorang troubadour juga adalah untuk menyampaikan kabar terbaru kepada “les régions voisions” atau “daerah terdekat”. 

Kemudian, jika mendengarkan melodi dan iringannya secara seksama, justru musik troubadour inilah yang begitu dekat dengan gaya Abah Iwan. Musik troubadour –yang bisa kita temukan sedikit saja diantaranya, karena sebagian besar sudah punah- terdengar “puitik” dan juga “sunyi”; syair umumnya sekular (menampilkan hal-hal keseharian seperti semangat untuk prajurit yang hendak bertarung, atau suami yang cemburu karena istrinya terus menerus dipandangi oleh lelaki di sekitar rumahnya) tapi melodi terdengar “spiritual” – mungkin karena nada-nadanya yang panjang, cenderung monoton dan repetitif, yang terkesan seperti orang yang sedang memanjatkan doa-. Ditambah lagi, musik troubadour, yang dahulu ditujukan untuk menyampaikan pesan kepada “daerah terdekat”, oleh Abah Iwan ditafsirkan secara bebas sebagai pesan kepada “orang terdekat”, atau bisa juga: “pesan tentang sesuatu yang dekat”. 

Mengutip kalimat komposer asal Jerman, Ludwig van Beethoven, “Sup yang enak hanya bisa dibuat oleh mereka yang berhati bersih.” Musik memang bisa dibedah, dianalisis, dan dipikirkan secara mendalam, tapi ada yang lebih abstrak di balik itu semua, yang tidak bisa digali oleh teori manapun, yaitu niat dan ketulusan. Musik Abah Iwan bisa kita terima, mungkin bukan sekadar persoalan gaya bernyanyinya yang seperti orang bertutur, atau kesamaannya dengan musik troubadour. Musiknya bisa meresap ke dalam sanubari, karena ia juga menulis lagu dan menyanyikannya tanpa tendensi. Konon, Abah Iwan mendapat inspirasi lagu dari gunung-gunung yang ia daki, dan bunga-bunga yang sepanjang perjalanan ia temui. Semua mengalir begitu saja, seperti sungai yang ia arungi sepanjang ekpedisi. Mungkin Abah Iwan tidak peduli, apakah musiknya pada akhirnya bernilai rendah atau tinggi. Apakah musiknya bisa dianalisis atau tidak. Ia hanya menyanyi seperti apa adanya, seraya mendoakan seluruh alam raya.


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me