Skip to main content

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

(Bioskop Alternatif) LayarKita: Berlayar Mencerdaskan Masyarakat (4 dari 5)

*) Diambil dari artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Teropong, 13 Februari 2017.

Meski ada beberapa komunitas dan tempat yang menggelar bioskop alternatif, namun nama LayarKita termasuk yang paling konsisten di Bandung. Sejak tahun 2011, komunitas yang dikoordinatori oleh Tobing Jr. tersebut rutin menggelar bioskop alternatif dengan cara gerilya. Maksudnya, mereka aktif mendatangi tempat-tempat untuk diajak kerjasama dalam hal pemutaran film. Contohnya, saat ini LayarKita aktif bergerilya di Pusat Kebudayaan Prancis (IFI – Bandung) setiap hari Senin dan Museum Asia Afrika setiap hari Selasa. Film-film yang diputar oleh LayarKita sangatlah beragam, dari mulai Africa United (2010), Crimes and Misdemeanors (1989), High Noon (1952), Julius Caesar (1953), hingga yang sudah sangat lama seperti Battleship Potemkin (1925) dan A Man with a Movie Camera (1928). Meski demikian, film yang diputar sebenarnya tidak selalu punya karakter “anti-umum”. Ada juga film-film yang mungkin juga pernah populer dan diputar di gedung bioskop, seperti 127 Days (2010) atau Lars and The Real Girl (2007). Namun tetap, film-film tersebut, meski populer, di akhir pemutaran selalu diadakan diskusi. Sehingga bisa jadi meski di permukaannya tampak seperti film hiburan, namun ternyata ada aspek filosofis yang bisa diperoleh oleh penonton ketika menyaksikannya di LayarKita (berbeda jika menyaksikannya di gedung bioskop). 

Awal mula didirikannya LayarKita, adalah rasa marah. “Kami marah pada gedung bioskop dan televisi, yang sudah kian mengurangi tayangan berkualitas demi kepentingan pasar,” kata Tobing Jr. Tapi ia sadar, bahwa tidak mungkin menyuruh gedung bioskop dan stasiun televisi untuk menghentikan tayangan-tayangan yang tidak bermutu. Atas dasar itulah, Tobing Jr. mendirikan komunitas LayarKita sebagai bentuk tayangan alternatif bagi penyuka film di Bandung. Jika menyoal koleksi film dan bobot diskusi, agaknya LayarKita tidak seberapa berbeda juga dengan komunitas penyelenggara bioskop alternatif lain di Bandung. Namun yang menjadi nilai lebih bagi mereka adalah konsistensinya. “Jika ibarat pelari, kami bukanlah seorang sprinter atau pelari cepat. Kami lebih senang dikatakan pelari marathon. Lebih baik jika kami lari pelan tapi bertahan lama, daripada lari cepat tapi setelah itu kehabisan energi,” ujar Tobing Jr. menganalogikan pergerakan LayarKita di dunia bioskop alternatif. 

Dalam pengamatan penulis, memang jumlah penonton yang hadir untuk menonton film di LayarKita tidak stabil. Umumnya malah yang hadir hanya puluhan atau bahkan belasan –pernah hingga ratusan, untuk film tertentu-. Padahal, untuk menonton bioskop alternatif ini, LayarKita sama sekali tidak memungut bayaran alias gratis. Apakah hal demikian menyurutkan semangat LayarKita untuk berhenti memutar film? Tobing Jr. mengakui, bahwa pada periode awal-awal LayarKita berkegiatan, selalu ada rasa pesimis tentang apakah kegiatan ini betul-betul punya dampak atau tidak. Namun lama kelamaan, ia mengibaratkan gerakan ini harus seperti rutinitas kantoran, yang suka tidak suka, harus dijalani. “Pada akhirnya,” kata Tobing, “Kuantitas tidak selalu menjadi hal yang utama. Yang terpenting adalah kualitas penonton yang hadir, yang betul-betul ingin menonton dan berdiskusi.”

Dengan keyakinan yang sedemikian rupa, LayarKita masih tegak berdiri hingga tahunnya yang keenam. Dapat dikatakan, jarang sekali mendengar mereka absen pemutaran film setiap minggunya, kecuali jika hari Senin atau Selasa jatuh di hari libur nasional. Hampir setiap edisinya juga, mereka berusaha menghadirkan narasumber untuk memberi pandangannya dalam diskusi, seperti Ronny P. Tjandra, Ismail Reza, Zaky Yamani, hingga Dien Fakhri Iqbal Marpaung. Di edisi tertentu, ketika pemutaran film Sound of Music (1965), LayarKita juga menghadirkan violinis Ammy Kurniawan untuk memainkan beberapa soundtrack dari film musikal legendaris tersebut. Pernah juga, jika memungkinkan untuk mengundang sutradaranya, maka LayarKita akan mengundangnya, seperti misalnya film Sunya (2016) yang diputar perdana di IFI – Bandung dengan menghadirkan sutradaranya, Harry Dagoe. 

Memang keberadaan LayarKita belum tentu akan bisa menggoyang eksistensi tayangan di televisi ataupun di gedung bioskop umum –setidaknya dalam waktu dekat-. Namun perannya sebagai bioskop alternatif harus senantiasa juga dikawal oleh masyarakat kita, agar kota selalu mempunyai opsi bagi masyarakat yang ingin memenuhi “gizi” batinnya. Biarlah mereka yang ingin hiburan bisa menonton televisi atau pergi ke gedung bioskop, tapi bagi mereka yang menginginkan film yang menantang imajinasi dan nalarnya, pergilah ke bioskop alternatif. Mungkin suatu hari nanti, ketika masyarakat sudah kian teredukasi oleh film-film dari bioskop alternatif, gedung bioskop umum tidak akan lagi alergi dengan film-film yang punya nilai edukasi, refleksi, dan perubahan sosial. Film yang diputar tidak lagi yang selalu menghamba pada pasar, melainkan juga menghamba pada nilai-nilai kemanusiaan. Mendiskusikan film tidak lagi sesuatu yang dianggap tabu dan serius, tapi menjadi budaya keseharian setiap kita selesai mengapresiasinya. Dengan demikian, berangkat dari sebidang layar, lambat laun mungkin akan tercipta masyarakat yang lebih cerdas.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1