Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Kelas Logika: Konsep dan Definisi


 
Jika kita perhatikan sejumlah perdebatan atau bahkan konflik, rata-rata dipicu oleh perbedaan definisi atas suatu konsep tertentu. Misalnya, konflik agama, seringkali diakibatkan oleh perbedaan definisi tentang “Tuhan” itu sendiri. Lebih jauh lagi, bahkan dua kubu bisa bertikai karena konsep “rakyat” yang seolah-olah jelas, padahal bisa jadi, lebih abstrak dari konsep “Tuhan”. Pada dasarnya, konsep adalah sesuatu yang melekat dalam kepala kita, sebagai representasi dari suatu objek di “luar sana” yang bisa berupa benda, peristiwa, hubungan, atau gagasan. Karena sifatnya yang representasional, maka konsep bisa sangat berbeda di kepala masing-masing individu. Itu sebabnya, kemampuan mendefinisikan konsep adalah penting, tidak hanya untuk kepentingan ilmiah dan akademik saja, tapi secara lebih praktis: Demi menghindari konflik yang tidak perlu. 

1. Konsep dan Kualitas 
Sebelum memasuki materi tentang definisi, penting kiranya untuk membedakan konsep berdasarkan kualitasnya. Menurut pemikir empirisme, John Locke, terdapat dua jenis kualitas yang berhubungan dengan konsep, yaitu kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas primer adalah kualitas yang melekat pada materi dari konsep benda atau hal yang kita amati. Misalnya: panjang, lebar, luas, volume, bentuk; atau kecepatan yang diukur dengan km/ jam, rumus kimia untuk air H2O, rumus kimia untuk garam NaCl, dan sebagainya. Kualitas primer sebuah konsep didapat melalui pengamatan, pengukuran, dan perhitungan. Sementara itu ada kualitas lain yang disebut sebagai kualitas sekunder. Kualitas sekunder contohnya berkaitan dengan warna, rasa, kesan, dan berbagai bentuk persepsi personal kita. Contoh dari kualitas sekunder misalnya “putih”, “merah”, “asin”, “manis”, “pahit”, hingga “jujur”, “jahat”, “baik”, dan “sombong”. Kualitas sekunder kita dapatkan melalui pengalaman kita berhubungan dengan suatu objek, atau bisa juga melalui pengetahuan eksternal lainnya. Intinya: Garam, secara kualitas primer, akan selalu mempunyai rumus kimia NaCl baik bagi orang Indonesia, Namibia, Prancis, hingga Alaska. Tapi garam dengan kualitas sekunder “asin” mungkin berbeda-beda bagi masing-masing individu (apalagi oleh orang yang sedang sakit sehingga apapun yang ia cerap terasa pahit bagi lidahyna). Contoh lain, daun dengan kualitas sekunder “hijau” tidak berlaku universal jika kemudian yang melihatnya punya masalah buta warna. Intinya lagi: kualitas primer lebih bersifat absolut, dan kualitas sekunder lebih bersifat relatif.   

2. Aturan Membuat Definisi 
Dalam membuat definisi, ada sejumlah aturan yang mesti kita perhatikan. Aturan itu adalah sebagai berikut: 

2.1. Definisi harus dapat dibolak-balik. Misalnya: Pernyataan, “Kucing adalah hewan,” adalah keliru jika kita mencoba membalikannya menjadi, “Hewan adalah kucing.” Namun jika kita mengubahnya menjadi “Kucing adalah hewan yang mengeong,” yang mana ketika dibalikkan menjadi, “Hewan yang mengeong adalah kucing,” maka pendefinisian tersebut menjadi lebih tepat. 

2.2. Definisi harus jelas, tidak boleh ragu-ragu, sehingga tidak boleh mengandung kata kiasan, atau kata-kata yang mengandung arti ganda atau bias. Misalnya: Pernyataan, “Anies Baswedan adalah politisi yang banyak melakukan kebohongan,”adalah meragukan karena kata “bohong” masih mengandung unsur kiasan. 

2.3. Definisi harus literal, tidak boleh metaforikal. Puisi atau karya sastra cenderung menggambarkan sesuatu secara metaforikal, misalnya: “Napasku sesak bagaikan napas panjang dihisap bersambung-sambung.” Ungkapan seperti itu tidak bisa diterima dalam konteks ilmu logika. 

2.4. Definisi harus padat dan sesingkat mungkin (namun tajam), tidak panjang dan bertele-tele. Misalnya: Pernyataan, “Manusia adalah makhluk yang berpikir,” tentu lebih praktis ketimbang “Manusia adalah makhluk yang paling paradoks dan multidimensional; mempunyai kesadaran kritis yang mendalam; mempunyai kemampuan untuk berpikir deduktif dan induktif; yang dengan demikian dapat merumuskan silogisme sekaligus mempraktikkan suatu argumen generalisasi Mill.” 

2.5. Definisi harus dalam bentuk kalimat positif, dan bukan negatif. Misalnya: Keliru jika kita mencoba mendefinisikan monyet sebagai, “Hewan selain babi,” karena hewan selain babi tentu tidak hanya monyet. 

2.6. Definisi tidak boleh sirkuler atau dalam arti kata lain, tidak boleh menyebutkan konsep dalam rumusan. Misalnya: “Rumah sakit adalah rumah tempat merawat orang sakit.” Pendefinisian tersebut keliru karena konsep “rumah” dan “sakit” justru sedang kita upayakan untuk didefinisikan. Contoh lain, misalnya, “Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang mengupayakan seluruh masyarakatnya untuk berdemokrasi.” 

3. Jenis-Jenis Definisi 
Terdapat sejumlah cara untuk mendefinisikan suatu konsep. Cara-cara tersebut antara lain sebagai berikut: 

3.1. Nominal 
Definisi nominal berarti membahas konsep itu sebagai dirinya sendiri, atau membahas ia dalam ruang lingkup kata itu sendiri dan tidak dihubungkan dengan realitas eksternal. Contoh definisi nominal adalah sinonim dan mencari etimologi dari suatu kata. Misalnya: Ganteng adalah rupawan, garansi adalah jaminan, garing adalah renyah, dan sebagainya; ekonomi berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani, yaitu oikos dan nomos; geologi berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani, yaitu geos dan logos; sejarah berasal dari kata dalam Bahasa Arab yaitu syajaratun, dan sebagainya. 

3.2. Riil 
Definisi riil dibagi lagi menjadi dua, yaitu definisi riil esensial dan definisi riil yang non esensial. 

3.2.1. Esensial 
Definisi riil esensial secara umum melihat bahwa dalam melakukan pendefinisian, suatu definisi harus tepat pada esensi dari konsep dan bersifat mutlak bahwa definisi itu harus ada sebagai prasyarat sebuah konsep. Definisi riil esensial mendefinisikan dengan membagi antara genus atau proximate genus dan differentia / specific difference / pembeda spesifik. 
Misalnya: Manusia adalah | makhluk hidup (proximate genus) | yang berpikir (differentia). ; Gereja adalah | rumah ibadah (proximate genus) untuk umat Kristiani (differentia). 

3.2.2. Non Esensial 
Definisi riil non esensial secara sederhana dapat diartikan sebagai pendefinisian yang “tidak lengkap” dan kadang “tidak tepat sasaran”. Namun dalam kasus tertentu, definisi riil non esensial bisa saja digunakan untuk memahami suatu konsep. 

3.2.2.1. Berdasarkan properties / ciri-ciri 
Definisi properties / ciri-ciri artinya menyebutkan atribut yang melekat pada suatu konsep, tapi bukan merupakan suatu atribut yang esensial. Misalnya: “Manusia adalah makhluk hidup yang mempunyai tangan dan kaki.” Kalimat tersebut sebenarnya tidak keliru, namun kurang esensial karena hanya menyebutkan satu ciri-ciri dari manusia dari sekian banyak ciri-ciri lainnya. 

3.2.2.2. Berdasarkan accidents 
Definisi accidents artinya menyebutkan atribut yang kurang mempunyai keterkaitan dengan konsep sehingga jikapun atribut tersebut dihilangkan, maka tidak akan berpengaruh dalam upaya pendefinisian suatu konsep. Mengapa disebut accidents, mungkin karena upaya pendefinisiannya lebih disebabkan oleh “kecelakaan” yang muncul akibat observasi yang kurang cermat atau terburu-buru. Misalnya: “Segitiga adalah bentuk geometris favorit di Abad Pertengahan.” “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang kurang adil.”


3.2.2.3. Berdasarkan penyebab 
3.2.2.3.1. Penyebab efisien 
Penyebab efisien berarti melihat konsep berdasarkan suatu hal yang menyebabkan konsep tersebut menjadi “ada” dari tadinya “tidak ada”. Misalnya: “Meja adalah suatu benda yang dibuat oleh tukang kayu.” “Manusia adalah suatu entitas yang diciptakan oleh Tuhan.” Tukang kayu adalah penyebab efisien yang menyebabkan terciptanya meja (dari sebelumnya kayu) dan Tuhan adalah penyebab efisien yang menyebabkan terciptanya manusia (dari sebelumnya tanah, misalnya). 

3.2.2.3.2. Penyebab final 
Penyebab final berarti melihat konsep berdasarkan “tujuan akhir” mengapa konsep tersebut dibuat. Penyebab final atau causa prima ini memang sedikit punya kesan “mengada-ada” dan itu sebabnya dimasukkan ke dalam kategori non-esensial. Misalnya: “Hujan adalah suatu peristiwa alam yang terjadi karena tumbuhan membutuhkannya.” “Manusia adalah makhluk yang terus mencari kebenaran, kebaikan, dan keindahan.” 

3.2.2.3.3. Penyebab material 
Penyebab material berarti melihat konsep berdasarkan anasir-anasir yang membentuknya. Misalnya: ”Nasi goreng adalah makanan yang terbuat dari nasi, garam, bawang merah, bawang putih, dan kecap.” “Cinta merupakan perasaan yang dibuat dari racikan antara kau dan aku.” 

3.2.2.4. Berdasarkan efek / akibat 
Definisi berdasarkan efek / akibat berarti menggunakan hubungan sebab akibat untuk menjelaskan konsep. Misalnya: “Tsunami adalah suatu bencana yang mengakibatkan terjadinya banyak korban di Aceh.” “Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintah yang mengakibatkan para penduduk menjadi punya tanggungjawab terhadap pemerintahannya sendiri.” 

4. Latihan Soal 
Cobalah untuk mendefinisikan beberapa konsep berikut ini, dengan cara-cara mendefinisikan yang sudah dijelaskan di atas. Berusahalah untuk membuat definisi riil yang esensial. Namun jika sudah diupayakan dan tidak bisa, gunakan cara lain (boleh dikombinasikan, selama tidak melanggar aturan definisi). 
a. Sepakbola 
b. Pornografi 
c. Uang 
d. Cinta 
e. Tuhan 
f. Rakyat 

Daftar Pustaka: 
• Kreeft, Peter. 2010. Socratic Logic. St. Augustine’s Press 
• Lloyd, G. E. R. 1968. Aristotle: the Growth and Structure of his Thought. Cambridge University Press: Cambridge. 
• Sidharta, Arief. 2008. Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah. Bandung: Refika Aditama. 
• http://philofbeing.com/2011/09/aristotles-5-predicables-explained/



Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1