Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Sebelum saya memutuskan untuk menikah di tahun 2012, ada perasaan takut oleh sebab kehidupan yang tak lagi heroik. Heroik semacam apa yang saya maksudkan? Begini, ketika jomblo, saya rajin sekali berkomunitas dan melakukan segala-gala yang disenangi seperti main musik suka-suka, menulis suka-suka, dan ikut kegiatan filsafat suka-suka. Bagi saya, itulah heroisme: suatu sikap penuh pengorbanan demi sesuatu yang apa itu namanya, kehidupan, ataupun kebenaran. Saya takut, ketika saya menikah, jadinya saya hanya jadi mementingkan keluarga (rela melakukan apa yang tidak disukai, yang penting sejahtera), sehingga namanya bukan lagi heroik, melainkan pragmatik.
Namun seiring dengan usia pernikahan yang terus bertambah, makna heroik kemudian bagi saya turut bergerak. Begini, jika saya mengatakan bahwa menikah berarti meninggalkan jiwa kepahlawanan yang harusnya saya curahkan untuk kehidupan, demi istri dan anak yang konon lebih sempit dan pragmatik, saya sekarang mendebat: tidakkah mereka (istri dan anak itu), adalah kehidupan juga? Malah pikiran saya lama-lama berkebalikan, dari tadinya cari ilmu setinggi-tingginya agar dibagikan pada masyarakat seluas-luasnya, sekarang hanya berharap, agar ilmu tersebut khususnya bermanfaat untuk anak saya sendiri. Karena saya sekarang punya pikiran: Bahwa dunia bukan tentang yang membentang dari kutub utara ke kutub selatan. Dunia adalah segala pengalaman yang kita gauli beserta seluruh isinya.
Sekarang saya sudah merasa heroik, lebih dari ketika masa-masa sebelum menikah. Karena saya malah secara konkrit: menafkahi kehidupan.
Sumber gambar: https://mystrongmedicine.wordpress.com/2014/06/15/my-father-my-hero-2/
Comments
Post a Comment