Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Mengajar dengan Cara Freire dan Sokrates


 
Dalam kegiatan belajar mengajar, sering kita dapati guru yang terus menerus mendikte muridnya. Guru diposisikan sebagai orang serba tahu dan murid sebagai kumpulan orang tidak tahu. Hal semacam ini disebut oleh pedagog Paulo Freire (1921 - 1997) sebagai "banking education" atau pendidikan a la bank. Artinya, murid-murid dianggap sebagai rekening kosong, dan guru pada posisi ini hanya berperan untuk melakukan deposit saja. Secara lebih jauh, Freire menganggap model pendidikan "banking education" hanya meneguhkan posisi guru sebagai "penindas" (oppressor) dan murid sebagai "yang ditindas" (oppressed).

Freire menyatakan dalam bukunya yang berjudul Pedagogy of The Oppressed (1970), bahwa murid-murid harus terbebaskan dari gaya pendidikan yang demikian. Tidak hanya "banking education" yang mesti dilawan, tapi juga "culture of silence". Menurut Freire, kebudayaan diam inilah yang menjadi dasar mengapa murid selalu ada di pihak yang didikte atau dalam bahasa Freire: ditindas. Apa yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam metode Freire adalah ini: berdialog, saling menghormati, mencintai kemanusiaan, dan membekali anak didiknya dengan suatu kemampuan praktis sekaligus reflektif untuk memecahkan persoalan sekitar.

Metode Freire tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
  • Tujuan pendidikan adalah membangun kesadaran kritis, bukan membiasakan murid dalam situasi tertindas. 
  • Guru dan murid punya hubungan sebagai partner diskusi, bukan guru mengambil kontrol atas seluruhnya dan menganggap murid hanya sebagai objek.
  • Guru harus mengajar dengan sebuah asumsi bahwa berbagai fenomena di dunia ini saling terkait satu sama lain dan tidak berdiri sendiri.
  • Latar belakang historis dari si murid penting untuk dibahas dan menjadi bagian dari kegiatan belajar mengajar. Dialog kemudian dilakukan untuk memancing murid berbagi tentang latar belakangnya.
  • Kata-kata yang digunakan mesti bermakna dan punya kekuatan, jangan sampai seorang guru teralienasi dari kata-katanya sendiri.
  • Pendidikan harus menjadi alat transformasi. Membuat baik guru dan murid keduanya saling memanusiakan.
  • Pendidikan harus terintegrasi dengan perubahan, bukan mengukuhkan situasi yang menindas. 
Dalam poin-poin di atas, Freire menekankan tentang pentingnya dialog, berdiskusi, dan saling memajukan satu sama lain sebagai elemen terpenting dalam pendidikan. Atas catatan tersebut, mungkin kita bisa mengoptimalkan pikiran Freire lewat pendekatan ala Sokrates. Sokrates adalah filsuf Yunani yang diperkirakan lahir pada tahun 470 / 469 SM dan meninggal pada tahun 399 SM karena dihukum mati dengan cara minum racun cemara. Sokrates terkenal justru karena dia tidak pernah menuliskan pikiran atau ajaran apapun. "Ajaran" Sokrates hanya bisa kita ketahui dari catatan-catatan muridnya, Plato. 

Sokrates memang tidak pernah benar-benar mengajar. Ia adalah orang yang percaya bahwa kebenaran sudah ada di dalam masing-masing orang dan tugasnya hanyalah sebagai "bidan" untuk membantu kelahirannya. Cara melahirkan kebenaran itu adalah dengan dialog. Namun dialog cara Sokrates ada kekhasan: Sokrates berdialog dengan bertindak seolah-olah ia adalah orang yang bodoh. Cara dialog yang demikian disebut dengan "ironi Sokrates". Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Sokrates diajukan sedemikian rupa sehingga kelihatan polos. Dengan demikian, orang-orang yang ditanya kemudian menjadi lebih percaya diri untuk menjawab dengan panjang lebar - karena tahu bahwa ia berhadapan dengan orang bodoh -.

Jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh orang yang ditanya itu kemudian selalu direspon oleh Sokrates dengan pertanyaan lain, sehingga kemudian tercipta dialog, dan orang yang ditanya tersebut menemukan suatu kebenaran yang berasal dari dirinya - yang kadang dihasilkan dari kontradiksi atas pernyataannya sendiri -. 

Contoh situasi kelas dengan metode mengajar Freire dan Sokrates:
Seorang dosen, sebut saja Amir, mengajar mata kuliah Kewarganegaraan. Ia berhadapan dengan sekitar empat puluh mahasiswa dengan latar belakang berbeda-beda. Kemudian ia masuk pada bab tentang pentingnya menjadi warga negara. Pada seorang mahasiswa berlatar belakang Papua, Amir memulai dialog: 

"Menurutmu, apakah menjadi warga negara itu penting?" 
"Penting, Pak."
"Mengapa?" 
"Karena dengan demikian, kita mempunyai hak-hak sebagai warga negara." 
"Apakah contoh hak-hak menjadi warga negara itu?" 
"Misalnya, mendapat perlindungan hukum."
"Kalau negara tidak ada, apakah kamu tidak akan mendapat perlindungan hukum?"
"Saya kira, tidak."
"Berarti kamu pikir, hukum bersumber dari negara?"
"Saya kira tidak, dalam masyarakat pun terdapat hukum."
"Berarti, perlindungan hukum bisa dilakukan tanpa harus ada negara?"
"Saya kira, Bapak benar."

Amir telah memulai suatu langkah penciptaan kesadaran kritis. Ia tidak berhenti pada suatu kata-kata yang teralienasi tentang pentingnya menjadi warga negara hanya lewat jargon belaka. Amir mencoba berdialog, dan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam, ia berhasil menemukan kontradiksi dalam pernyataan mahasiswa asal Papua tersebut. Dialog tersebut bisa dilanjutkan pada hal-hal yang lebih historis misalnya apa arti menjadi warga negara Indonesia bagi masyarakat Papua, dan seterusnya.

Daftar Pustaka:
Freire, Paulo. 1970. Pedagogy of The Oppressed. New York: Continuum
Pedagogy Of The Oppressed - What Is It and Why Its Still Relevant. 
http://www.practicingfreedom.org/pedagogy-of-the-oppressed-what-is-it-and-why-its-still-relevant/

Sumber gambar:
https://alchetron.com/Paulo-Freire-804547-W
http://filosofi.no/sokrates/




Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me