Skip to main content

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

(Bioskop Alternatif) Intelektual Muda Prancis Membuat Bioskop Alternatif Jadi Eksis (2 dari 5)

*) Diambil dari artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Teropong, 13 Februari 2017.

Meski sulit untuk melacak kapan dan dimana awal mula bioskop alternatif diadakan, namun agaknya satu masa di Prancis pasca Perang Dunia tidak bisa begitu saja dikesampingkan. Pada periode sekitar tahun 1950-an tersebut, Prancis, yang baru saja lepas dari berbagai pendudukan, mendapat limpahan film dari negara-negara yang pernah berdiam di negeri mereka (seperti Italia dan Jerman). Ditambah lagi, gairah intelektual muda Prancis untuk berbicara tentang film, saat itu, begitu menggebu-gebu. Tercatat ada dua komunitas penyelenggara bioskop alternatif yang eksis pada masa itu, yaitu Objectif 49 dan Cine-Club du Quartier Latin. Mereka memutar film-film dari sutradara Sergei Eisenstein, Anthony Mann, D.W. Griffith, Orson Welles, Lumiere Bersaudara, hingga Alfred Hitchcock. Sudah sejak masa itu pula, bioskop alternatif lekat dengan diskusi pasca pemutaran. Mereka yang hadir ke dua komunitas itu adalah orang-orang cinephile (penggila film) yang identik dengan wawasan luas di wilayah sastra dan filsafat, sehingga baik Objectif 49 maupun Cine-Club du Quartier Latin, keduanya dikenal sebagai tempat lahirnya pikiran-pikiran yang pada perjalanannya mampu mengubah peta perfilman dunia. 

Berangkat dari pemutaran film-film berkualitas dan diskusi yang intensif, kedua komunitas tersebut kemudian bersinergi menghasilkan satu majalah kritik film yang berjudul Revue de Cinema –yang kemudian bermetamorfosis menjadi majalah Cahiers du Cinema yang masih eksis hingga hari ini-. Setiap tahunnya dari sejak tahun 1950 hingga sekarang, Cahiers du Cinema rutin mengeluarkan daftar sepuluh film terbaik berdasarkan penilaian para kritikus. Majalah tersebut tidak hanya diisi oleh review film, melainkan juga hasil pemikiran mendalam para penulis seperti Alexandre Astruc dan Andre Bazin tentang dunia sinema. Selain itu lagi, komunitas bioskop alternatif di Prancis tersebut juga melahirkan sutradara dan kritikus film legendaris seperti Jean Luc Godard, Francis Truffaut, Jacques Rivette, dan Claude Chabrol. 

French New Wave 
Sejauh mana bioskop alternatif di Prancis pada masa itu dapat merubah peta perfilman dunia? Selain yang telah disebutkan di atas, ada satu lagi sumbangsihnya yang tak bisa diabaikan, yaitu lahirnya gerakan French new wave. French new wave berangkat dari tesis bahwa posisi film seharusnya tidak berada di bawah seni-seni yang lain seperti sastra ataupun rupa. Sutradara seharusnya diberi semacam kewenangan penuh untuk melakukan eksperimentasi pada filmnya, sebagaimana seorang sastrawan pada karya tulisnya, dan pelukis pada kanvasnya. Berdasarkan pemikiran tersebut, para sutradara seperti Godard, Truffaut, Rivette, dan Chabrol, membuat filmnya dengan gaya yang sangat eksperimental, seperti teknik sinematografi yang tidak lazim, jalan cerita yang cenderung absurd, dan peran aktor yang berubah-ubah di dalam satu film –contoh filmnya misalnya Breathless (1960), Shoot The Piano Player (1960), Le Mépris (1963), atau Céline and Julie Go Boating (1974). Film dengan gaya french new wave tentu saja tidak mudah dimengerti untuk penonton yang terbiasa menyaksikan film dengan narasi yang umum. Tapi jangan abaikan peran gaya tersebut bagi dunia sinema. Gaya-gayanya kemudian diadopsi oleh banyak sutradara besar yang kita mungkin bisa kenali sekarang ini, seperti Stanley Kubrick dan David Lynch. Sekali lagi, berawal dari semangat independen bioskop alternatif, dapat lahir berbagai pemikiran-pemikiran penting yang mungkin saja menjadi dasar dari berbagai film umum yang sekarang kita lihat di gedung bioskop. 

Perkembangan Berikutnya 
Keberhasilan French new wave mendorong perkembangan bioskop alternatif di seluruh dunia seperti Amerika Serikat, Jerman, dan wilayah-wilayah Eropa Timur. Selain itu pula, kemudian lahir sutradara-sutradara hebat yang dihasilkan dari bioskop alternatif. Mereka adalah sutradara yang sekaligus juga seorang cinephile –faktanya, tidak semua sutradara ternyata adalah juga cinephile- seperti Quentin Tarantino, Jim Jarmusch, Wes Anderson, hingga Aki Kaurismaki. Tanpa pernah benar-benar belajar ilmu perfilman pada pendidikan formal, mereka bisa menjadi sutradara karena banyak menonton film-film lain. Mereka diuntungkan oleh berbagai forum yang pernah didatanginya ketika memutar pelbagai film non-umum. Artinya, bukan tidak mungkin –dan sudah ada buktinya-, bahwa bioskop alternatif tidak hanya melahirkan penonton-penonton yang cerdas, tapi juga berpotensi menjadi kawah candradimuka bagi kritikus film yang bagus, dan sutradara yang berkualitas. Pada titik itu pula, para penggiat komunitas bioskop alternatif tak perlu patah arang jika apa yang dilakukannya tidak menemui hasil instan. Sejarah sudah membuktikan: Bermula dari perkumpulan kecil di Prancis, wajah dunia sinema berubah, pun wajah peradaban ikut berubah. 

Sumber Pustaka:
Marie, Michel. The French New Wave : An Artistic School. Trans. Richard Neupert. New York: John Wiley & Sons, Incorporated, 2002.
Thompson, Kristin. Bordwell, David. Film History: An Introduction. McGraw Hill. 2010





Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1