Skip to main content

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Tentang Belajar Gambar Bersama Klinik Rupa Dokter Rudolfo

Dimulai Desember kemarin, saya tiba-tiba ingin belajar gambar. Gurunya siapa, tidak tahu. Tapi ketika sedang melihat-lihat linimasa di Facebook, tanpa sengaja saya memperhatikan akun seseorang yang sebenarnya sudah saya kenal sejak lama, yaitu R.E. Hartanto - biasa dipanggil Mas Tanto-. Ternyata, dari posting-posting-nya bisa disimpulkan, selain sebagai seorang seniman rupa yang cukup produktif, Mas Tanto juga senang mengajar gambar (untuk yang terakhir ini, memang saya baru tahu). Tanpa pikir panjang, saya sapa dia di fitur pesan Facebook dan kami langsung berbincang untuk sepakat soal harga, waktu les, dan materi belajarnya - yang ia sebut sebagai realisme optis (optical realism)-. Oia, Mas Tanto, yang cukup nyentrik ini, menyebut program kursusnya sebagai "Klinik Rupa Dokter Rudolfo".

Apa yang dipelajari pada mulanya? Awalnya, jujur saja, saya agak ragu. Bagaimana mungkin, tugas pertemuan pertama adalah belajar membuat garis melengkung sebanyak satu rim! Cara memegang pensil pun harus khusus, yaitu dengan kuku menghadap ke langit dan kelingking menyentuh kertas sebagai penumpu. Posisi berdiri, kata Mas Tanto, lebih bagus dalam menghasilkan garis. Saya melakukan ini sampai pegal-pegal, sambil bertanya-tanya: Jika begini terus, kapan saya bisa pameran tunggal? 

Setelah lulus dari membuat garis lengkung, tiba saatnya memasuki materi yang lebih estetis: mengarsir. Arsir ini harus dari gelap sekali, ke terang sekali, ke gelap lagi, tanpa kelihatan "sambungan"-nya. Saya mengarsir dalam sebuah bentuk yang menyerupai pita, sehingga hasil arsiran kelihatan mempunyai efek gelombang. Tugas ini, seperti sebelumnya, juga bikin saya frustasi. Berkali-kali saya disuruh pulang karena arsiran saya tidak memenuhi keinginan Mas Tanto. Namun setelah empat pertemuan, Mas Tanto meluluskan arsiran saya  - mungkin karena kasihan-. Saya dipersilahkan untuk mulai menggambar objek dengan metode tracing.


Objek pertama yang dijiplak adalah tengkorak. Saya kira menjiplak tengkorak ini mudah. Namun ternyata, butuh delapan pertemuan hingga akhirnya diluluskan! Mas Tanto ternyata cukup jeli dalam memilih materi. Objek tengkorak dipilih agar saya membiasakan diri dengan gelap - terang (yang katanya lebih kelihatan jelas ketika mata kita dipicingkan), kontur wajah, dan shading. Tengkorak tentu awal yang bagus sebelum masuk ke wajah manusia yang lebih susah ditafsir raut wajah dan warna kulitnya.

Setelah delapan pertemuan yang melelahkan, akhirnya saya diperbolehkan menggambar wajah manusia. Wajah manusia pertama yang saya gambar adalah wajah seorang dosen yang juga pembalap motor, Mas Yusrila Kerlooza. Hingga pertemuan ini, saya mulai paham (walau belum tentu hasilnya bagus) bagaimana harusnya menggambar itu: Tracing tidak harus detail. Justru tracing yang tidak detail akan lebih banyak melibatkan kekuatan observasi dan tafsir si penggambar - yang pada titik itu, justru memberi kekuatan -. 


Perjalanan belajar gambar saya masih panjang. Saya malah kian penasaran dengan materi-materi apa yang akan diberikan Mas Tanto ke depannya. By the way, tujuan saya belajar menggambar ini sebenarnya sederhana saja: ingin mengerti kerja Tuhan. 




Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1