Skip to main content

Guru Spiritual

    Tulisan ini bukan hendak mengagung-agungkan guru spiritual. Tulisan ini adalah hasil renungan atas film dokumenter di Netflix berjudul Bikram: Yogi, Guru, Predator (2019). Bikram Choudhury (lahir tahun 1944) adalah guru yoga pendiri Bikram Yoga yang populer sejak tahun 1970-an dengan cabang tersebar hingga 40 negara. Bikram Yoga mengajarkan 26 postur yang semuanya dilatih dalam temperatur mencapai 41 derajat celcius. Selain populer karena muridnya yang berjumlah jutaan dan cara mengajarnya dengan hanya menggunakan celana renang ketat, Bikram juga adalah pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah muridnya. Hal inilah yang mengganggu saya dalam artian, seorang guru spiritual yang identik dengan dunia ketimuran sebagai dunia yang sebisa mungkin melepaskan keterikatan terhadap "nafsu kedagingan", ternyata begitu problematik dalam urusan seks yang konsensual.  Problem guru spiritual ini terletak pada pengkultusannya. Sebagaimana diperlihatkan dala

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya. 
 
Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri. 

1. Kerancuan dalam Berbahasa 

1.1. Ekuivokasi (Equivocation) 
Ekuivokasi adalah jenis kerancuan dari sebuah kata yang bersifat ambigu, terutama ketika ditempatkan dalam konteks yang “tidak seharusnya”. Misalnya: 
1.1.1. “Apakah bentuk tertinggi dari kehidupan binatang?” “Jerapah.” 
1.1.2. “Kata ustad, saya harus punya keyakinan agar bisa bahagia. Memang iya, saya punya keyakinan bahwa putri saya akan masuk sekolah favorit tahun ini.” 
1.1.3. “Saya makan hati karena kasus ini.” “Oh, lebih enak mana dengan makan ampela?” 

1.2. Amfiboli (Amphiboly
Amfiboli adalah jenis kerancuan yang bukan disebabkan oleh kata atau kalimat, melainkan karena konstruksi gramatikal. Misalnya: 
1.2.1. Raja Croesus dari kerajaan Lydia bermaksud hendak menyerang kerajaan Persia. Sebagai orang bijak, ia tidak akan memulai berperang kecuali jika ia yakin akan menang. Karena itu ia berkonsultasi ke Delphi. Para pendeta Delphi menjawab dengan pernyataan: “Jika Croesus berperang dengan Persia maka ia akan menyebabkan hancurnya sebuah kerajaan.” Dengan jawaban itu ia menyerang Persia, dan dalam waktu singkat ia dikalahkan oleh Persia. Setelah itu, menulis ke Delphi bahwa ia telah mengikuti nasihat yang salah. Para pendeta Delphi menjawab: “Ramalan kami tepat. Anda telah menyebabkan sebuah kerajaan hancur, yaitu kerajaan Anda.” 
1.2.2. “Aristotle taught his students walking.” (Kalimat ini harus dalam Bahasa Inggris agar relevan. Pernyataan di atas membuat orang berpikir apakah artinya Aristoteles mengajar sambil berjalan, atau mengajari murid-muridnya berjalan?) 
1.2.3. Tanya (teka-teki): “Kunaon tukang baso nakolan mangkok?” Jawaban: “Ku sendok” (Kalimat ini harus dalam Bahasa Sunda agar relevan. Kalimat “kunaon” berarti “mengapa”, tapi ada juga “ku naon” yang artinya “dengan apa”. Jawaban “ku sendok” atau “dengan sendok” menjawab “ku naon” dan bukan “kunaon”. Jadi, kalimat tanya alternatif yang lengkap untuk teka-teki di atas adalah, “Dengan apa tukang baso memukul mangkok?” Jawabannya tepat, “Dengan sendok.”) 

1.3. Aksentuasi (Accent) 
Aksentuasi adalah kerancuan yang terjadi karena perbedaan penekanan pada bagian tertentu dalam sebuah kalimat. Penekanan ini dapat berupa tanda baca, dapat juga berupa nada bicara (dalam konteks percakapan langsung). Misalnya: 
1.3.1. “Aristoteles bicara fisika? Dia kan ahli logika yang bagus.” (Penekanan di kata “ahli logika”, menunjukkan bahwa Aristoteles tidak bisa bicara fisika) 
1.3.2. “Kita tidak harus memberitahu kebenaran secara menyeluruh, kan?” (Berarti boleh kebenaran secara parsial) 
1.3.3. “Kita tidak harus memberitahu kebenaran secara menyeluruh, kan?” (Berarti boleh juga memberitahu mitos dan dongeng-dongeng yang tidak benar) 

1.4. Hiperbola (Hyperbole
Hiperbola adalah kerancuan yang terjadi karena melebih-lebihkan kesimpulan daripada premisnya. Misalnya: 
1.4.1. “Kamu ingin aku membersihkan kamar? Jadi kamu ingin aku jadi budakmu?” 
1.4.2. “Kamu tidak suka pornografi? Jadi kamu sedang melawan kebebasan berekspresi?” 
1.4.3. “Kamu tidak bisa keluar rumah semalaman. Kamu baru enam belas tahun!” “Oh, hidupku hancur berantakan. Aku adalah tahanan di rumahku sendiri!” 

1.5. “Straw Man 
Straw Man Fallacy adalah kerancuan yang terjadi ketika kita melakukan counter terhadap argumen seseorang, tanpa kita sendiri paham apa yang diargumenkan (bisa jadi kita memahaminya secara setengah-setengah). Dalam tradisi Abad Pertengahan, Straw Man Fallacy dapat dihindari dengan mula-mula mengulangi argumen lawan, untuk memastikan bahwa kita benar-benar mengerti. Contoh Straw Man Fallacy
1.5.1. “Baik, jika menurut Darwin bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera, maka coba tengok di kebun binatang yang terdapat kera itu: Apakah mereka akan jadi manusia?” 
1.5.2. “Nietzsche dengan sombongnya selalu berkoar-koar tentang Tuhan telah mati. Sekarang saya tanya pada Nietzsche, kalau dia mati, dengan siapa ia akan berjumpa?” 
1.5.3. “Orang yang mengatakan bahwa bumi bulat lupa melihat fakta bahwa ia berjalan selalu lurus, tidak menggelinding.” 

2. Kerancuan Relevansi 

2.1. Argumentum ad Baculum 
Pernyataan yang rancu karena mendasarkan diri pada kekuatan atau ancaman penggunaan kekuatan sehingga sebuah kesimpulan menjadi disetujui (lebih karena didorong oleh rasa takut). Misalnya: 2.1.1. “Sebelum kamu menjawab menjawab pertanyaan saya, ingat dulu, siapa yang membayar gajimu.” 
2.1.2. “Alangkah lebih baiknya jika kita beribadah lebih banyak. Ingat, siksa neraka sangatlah pedih.” 2.1.3. “Pak satpam, tolong buka pintunya.” “Tapi, Pak, ini sudah lewat jam yang seharusnya. Gerbang ditutup jam dua belas malam.” “Hei, Pak, kamu tidak tahu saya ini siapa? Saya ini presiden!” 

2.2. Argumentum ad Hominem 
Pernyataan yang rancu karena lebih diarahkan pada pribadi orangnya daripada argumen yang dikemukakannya. Misalnya: 
2.2.1. “Jangan percaya kata-kata Ahok, karena dia pernah dipenjara.” 
2.2.2. “Psikolog itu tak sepantasnya menceramahi pasangan yang bermasalah. Punya pacar pun dia tidak.” 
2.2.3. “Kamu tahu darimana? Kamu kan cuma anak remaja.” 

2.3. Argumentum ad Ignorantiam 
Pernyataan yang rancu karena muncul dari ketidaktahuan atau sesuatu yang tidak terbukti benar. Misalnya: 
2.3.1. “Dia tidak bisa membuktikan bagaimana dia mendapatkan uang itu. Jadi sudah pasti dia itu mencurinya.” 
2.3.2. Seseorang yakin bahwa Tuhan itu ada, karena tidak ada yang pernah membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. 
2.3.3. “Aristoteles itu siapa? Saya tidak tahu, berarti dia itu tidak penting.” 

2.4. Argumentum ad Misericordiam 
Pernyataan yang rancu karena mengandung belas kasihan yang digugah sedemikian rupa agar sebuah kesimpulan menjadi disetujui. Artinya, seseorang setuju bukan karena logis, tapi lebih ke arah psikologis. Misalnya: 
2.4.1. “Pak, Bu, kiranya berkenan memberi produk ini, karena saya sedang terlilit hutang.” 
2.4.2. Seorang mahasiswa memohon pada dosennya untuk diberi nilai A karena ia sudah belajar dengan serius sepanjang malam sampai tidak tidur. 
2.4.3. “Pak Polisi, jangan tangkap saya: Anjing saya baru meninggal, ibu mertua saya baru datang, dan gaji saya bulan ini datang terlambat!” 

2.5. Argumentum ad Populum 
Pernyataan yang rancu karena kebenarannya didasari oleh pendapat orang banyak dan bukan karena argumen tersebut benar. Misalnya: 
2.5.1. Hakim akhirnya memutuskan bahwa Ahok bersalah oleh sebab tekanan umat muslim. 
2.5.2. “Tujuh puluh persen orang setuju bahwa sebaiknya hukuman mati diadakan. Berarti hukuman mati adalah sebenar-benarnya hukuman!” 
2.5.3. “Di Bandung ini, hampir semua orang suka dengan kepemimpinan Ridwan Kamil.” 

2.6. Argumentum ad Verecundiam 
Pernyataan yang rancu karena mendasarkan pembenaran dari dukungan atau pendapat pada kewibawaan orang terkenal yang sebenarnya tidak mempunyai kompetensi untuk menyatakan hal tersebut (tidak relevan). Argumentum ad Verecundiam juga seringkali mengarah pada pernyataan-pernyataan yang bersifat dogmatis sehingga tidak dapat dicek benar atau salahnya. Misalnya: 
2.6.1. “Menurut Raffi Ahmad, Karl Marx bukanlah seorang komunis.” 
2.6.2. “Tuhan benci para pembohong.” “Bagaimana kamu tahu apa yang Tuhan benci?” “Kitab suci mengatakan demikian.” 
2.6.3. “Menurut Carl Sagan, terdapat milyaran kehidupan ekstraterestrial di luar sana.” 

2.7. Argumentum ad Ignominiam 
Pernyataan yang rancu karena mendasarkan pembenaran dengan cara membuat lawan bicara merasa malu. Pernyataan diterima bukan karena masuk akal, tapi karena rasa malu itu tadi. Misalnya: 
2.7.1. “Kamu ingin jadi pengacara? Apa tidak takut disebut sebagai ‘pengangguran banyak acara’?” 2.7.2. “Masih percaya pada pahlawan? Di zaman sekarang? Kamu benar-benar kekanak-kanakan!” 2.7.3. “Mau jadi filsuf? Nanti mau hidup darimana?” 

3. Kerancuan Oversimplifikasi 

3.1. Dicto Simpliciter 
Dicto simpliciter berarti terlalu menganggap sesuatu itu mudah, sederhana, dan tak perlu dipikirkan matang-matang. Misalnya: 
3.1.1. Manusia adalah makhluk yang berpikir. Tentunya, seorang idiot pun dapat lulus pelajaran logika. 
3.1.2. “Saya tidak akan mengatakan musik grunge sebagai musik yang berkualitas. Karena bagaimana bisa, kebagusan diukur dari vokalis yang berteriak-teriak saja tanpa menyampaikan pesan yang jelas?” 
3.1.3. Kita bisa lihat, banyak rakyat sengsara oleh sebab sistem demokrasi. 

3.2. Komposisi (Composition
Komposisi berarti menyimpulkan apa yang berlaku bagi bagian-bagian, ternyata juga berlaku bagi keseluruhan. Misalnya: 
3.2.1. Tiap-tiap bagian dari sebuah mobil adalah ringan; karena itu mobil adalah benda ringan. 3.2.2. Jakarta punya banyak orang kaya dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Itu artinya, Jakarta adalah kota terkaya di Indonesia. 
3.2.3. Aktor-aktor dalam film ini adalah aktor hebat. Maka itu pastilah film ini adalah film yang hebat. 

3.3. Divisi (Division
Divisi berarti menyimpulkan bahwa apa yang bagi berlaku bagi keseluruhan ditarik kesimpulan bahwa hal yang sama juga berlaku bagi bagian-bagian (kebalikan dari komposisi). Contoh: 
3.3.1. Kalau minum sepuluh gelas anggur setiap selesai makan akan berbahaya bagi kesehatan, maka minum satu gelas anggur juga akan berbahaya bagi kesehatan. 
3.3.2. Sebuah mobil adalah berat; maka itu tiap bagian dari mobil adalah berat. 
3.3.3. Para muslim bermigrasi ke Prancis. Ahmed adalah muslim, berarti dia juga semestinya migrasi ke Prancis. 

3.4. Kerancuan Hitam Putih (The Black and White Fallacy) 
Kerancuan hitam putih merupakan pernyataan yang bersifat simplifikatif dengan menunjukkan, “Jika hal tersebut bukan ekstrem A, maka itu adalah non-ekstrem A.” Misalnya: 
3.4.1. “Kamu benci saya?” “Tidak.” “Wah, bagus, berarti kamu cinta sama saya!” 
3.4.2. “Mengapa kamu tidak sembahyang?” “Hari ini waktu saya agak sempit.” “Wah, kamu itu kafir!” 
3.4.3. “Mengapa kamu tidak suka musik metal?” “Entah, saya hanya tidak bisa menikmatinya.” “Wah, berarti kamu ini sukanya musik yang lembut-lembut, kan?” 

3.5. Mengutip Keluar Konteks (Quoting Out of Context) 
Mengutip keluar konteks biasanya menyebutkan satu kutipan yang sangat umum, yang menjadi justifikasi untuk berbagai pernyataan. Bisa juga, mengutip keluar konteks berarti mengambil suatu pernyataan yang kemudian digeneralisasi secara tidak akurat, seperti yang umumnya terjadi di berita-berita. Berbagai contoh mengutip keluar konteks: 
3.5.1. Menurut kitab suci, Tuhan adalah Maha Indah. Maka itu, kita harus menggusur pemukiman kumuh karena bertentangan dengan sifat-sifat Tuhan. 
3.5.2. Ahok ceramah di Pulau Seribu dan mengatakan sesuatu tentang surat Al Maidah ayat 51. Esoknya, di media online tertentu muncul headline: “Ahok menistakan agama”. 
3.5.3. Menurut John F. Kennedy, “Jangan tanya apa yang negara sudah berikan kepadamu, tapi tanya apa yang sudah kamu berikan untuk negara.” Berdasarkan kutipan tersebut, maka kelas logika ini harus dibubarkan karena tidak memberikan kontribusi apapun untuk negara. 

3.6. Stereotyping 
Stereotyping adalah menyimpulkan sesuatu atau seseorang berdasarkan konstruksi sosial yang palsu dan rentan. Misalnya: 
3.6.1. “Wah, badanmu tinggi ya, berarti kamu itu pandai main basket!” 
3.6.2. “Orang Amerika? Banyak uang nih!” 
3.6.3. “Orang Padang ya? Pasti suka dagang!” 

4. Kerancuan Argumentasi 

4.1. Non Sequitur 
Non Sequitur artinya “tidak mengikuti” yang merujuk pada kesimpulan yang terlalu melompat dari premisnya. Misalnya: 
4.1.1. “Dia adalah murid Bambang Sugiharto. Pasti ia pintar.” 
4.1.2. “Jangan pindah ke Jakarta, ya. Di sana banyak kejahatan. Kamu akan mati jika ke sana.” 
4.1.3. “Setiap saya pakai ponsel merk Samsung, pasti pekerjaan saya menjadi lancar!” 

4.2. Konklusi Tidak Relevan (Irrelevant Conclusion / Ignoratio Elenchi) Pernyataan yang rancu karena yang seharusnya dimaksudkan untuk mendukung sebuah kesimpulan tertentu, tapi kemudian malah diarahkan untuk membenarkan sebuah kesimpulan yang lain. Kerancuan ini sering disebut dengan istilah “missing the point”. Sebagai contoh: 
4.2.1. Dalam sebuah perkara pidana, seorang jaksa dalam usahanya untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah hanya berupaya membuktikan secara meyakinkan bahwa perkara pembunuhan yang bersangkutan adalah sangat kejam dan biadab. 
4.2.2. “Banyak orang yang tidak bisa sekolah karena kenyataan bahwa sekolah saat ini sering digunakan untuk tempat kampanye partai politik tertentu.” 
4.2.3. “Bencana kelaparan yang terjadi di Korea Utara jelas disebabkan oleh ideologi totalitarian yang mereka anut!” 

4.3. Begging The Question 
Pernyataan yang rancu karena kesimpulan yang disampaikan adalah sama dengan atau terimplisitkan dalam premisnya (sehingga dapat dikatakan juga bahwa si pemberi pernyataan sudah mengasumsikan premisnya sebagai kebenaran), meski kadang dengan kata-kata yang lain. Misalnya: 
4.3.1. Manusia pada dasarnya suka makan karena secara biologis mereka memang suka makan. 
4.3.2. “Membolehkan tiap orang menyatakan pendapat tanpa batas, secara umum, akan selalu menguntungkan baik bagi negara; sebab ikhwalnya akan sangat kondusif bagi kepentingan masyarakat bahwa setiap individu seyogianya menikmati kebebasan, secara sempurna tanpa batas, untuk menyatakan perasaan-perasaannya!” 
4.3.3. “Kita akan menggelar pengadilan yang adil sebelum ia digantung.” 

4.4. Complex Question 
Kerancuan yang terjadi ketika mengajukan pertanyaan yang “menjebak” karena jawaban apapun menimbulkan suatu pengertian tunggal. Artinya, si penanya tidak sedang benar-benar bertanya, melainkan berupaya mengungkap sesuatu. Misalnya: 
4.4.1. “Sudahkah kamu berhenti memukuli istrimu?” (Jawaban apapun hanya akan menunjukkan bahwa si penjawab memang memukuli istrinya) 
4.4.2. “Siapa yang membuat Tuhan?” (Apapun jawabannya, mengasumsikan bahwa Tuhan memang ada pembuatnya) 
4.4.3. “Apakah uang hasil korupsi itu kamu pakai untuk membangun tempat peribadatan?” (Apapun jawabannya, berarti ia memang korupsi) 

4.5. Arguing in a Circle 
Arguing in a Circle berarti menggunakan kesimpulan untuk membenarkan sebuah premis, dimana premis tersebut juga digunakan untuk membenarkan kesimpulan. Misalnya: 
4.5.1. “Semua kata-kata dalam Al-Qur’an adalah benar adanya.” 
“Kenapa?” 
“Karena itu adalah kata-kata dari Allah.” 
“Bagaimana kamu tahu itu adalah kata-kata dari Allah?” 
“Menurut Nabi Muhammad.” 
“Bagaimana kamu tahu Nabi Muhammad mengatakan hal yang benar?” 
“Karena dia adalah Nabi-nya Allah, dan Nabi-nya Allah tidak mungkin berkata bohong.” “Bagaimana kamu tahu Nabi Muhammad adalah Nabi-nya Allah?” 
“Karena Al-Qur’an mengatakan demikian.” 
4.5.2. “Mengapa kamu belajar dengan keras?” 
“Untuk melewati tes.” 
“Mengapa kamu ingin melewati tes?” 
“Untuk lulus kuliah.” 
“Mengapa kamu ingin lulus kuliah?” 
“Agar dapat pekerjaan.” 
“Mengapa kamu ingin dapat pekerjaan?” 
“Untuk menghasilkan uang.” 
“Mengapa kamu ingin menghasilkan uang?” 
“Untuk membesarkan keluarga.” 
“Mengapa kamu ingin membesarkan keluarga?” 
“Agar mereka kelak bisa pergi kuliah dan sukses.” 
“Apa yang membuat mereka bisa pergi kuliah dan sukses?” 
“Belajar dengan keras ketika akan ujian.” 

5. Kerancuan Induktif 

5.1. Hasty Generalization 
Kerancuan yang terjadi karena generalisasi yang terburu-buru. Misal: 
5.1.1. “Para filsuf adalah orang-orang ateis. Coba lihat Marx, Satre, Feuerbach, Freud, dan Nietzsche.” 
5.1.2. “Saya kira makanan di Bandung enak-enak walau saya baru cicip satu warung nasi goreng di dekat kost-kostan.” 
5.1.3. “Baru saja musim ini dimulai, Persib sudah kalah dua kali. Mereka tidak punya peluang juara.”  

5.2. Post Hoc Ergo Propter Hoc 
Kerancuan yang terjadi karena menyimpulkan sesuatu dari hal-hal yang terjadi karena urutan waktu. Misal: 
5.2.1. Ketika gerhana matahari, orang-orang sibuk memukuli kentongan karena percaya sedang terjadi pertarungan antara dewa yang baik dan dewa yang jahat. Ketika gerhana matahari selesai, orang-orang bersorak karena dewa yang baik yang menang akibat disemangati oleh kentongan tersebut. 
5.2.2. Perdana Menteri Inggris datang ke Indonesia dan esoknya di Padang terjadi gempa. Kesimpulannya, Perdana Menteri Inggris adalah penyebab gempa. 
5.2.3. Seorang remaja bertengkar dengan ibunya dan esoknya ia tertabrak becak. Kata ibunya, “Nah, kan, itulah hukuman bagi anak durhaka.” 

5.3. Argumen dari Keheningan (The Argument from Silence
Kerancuan yang terjadi karena menyimpulkan sesuatu hal dari diamnya seseorang atau tidak adanya penjelasan apapun dari suatu kejadian. Artinya, kerancuan ini terjadi karena menarik kesimpulan dari premis-premis yang tidak ada. Misal: 
5.3.1. “Oh, dia diam saja, berarti dia ketakutan!” 
5.3.2. Tidak ada bukti bahwa Andi, semasa hidupnya, pernah menikah. Itu artinya, memang dia tidak menikah. 
 5.3.3. “Nietzsche, semasa hidupnya, tidak pernah melayangkan kritik apapun tentang Islam. Apakah itu berarti dia adalah seorang muslim?” 

5.4. Selective Evidence 
Kerancuan yang terjadi karena seseorang memilih bukti yang mendukung pernyataannya dan menolak bukti yang tidak mendukung pernyataannya. Artinya, membiarkan hipotesis yang mengontrol data, dan bukan data yang mengontrol hipotesis. Misal: 
5.4.1. “Berdasarkan data-data tentang banyaknya kejahatan di Indonesia di tahun 2017, maka sudah jelas bahwa negara ini dalam bahaya.” (Tanpa mempertimbangkan data-data tentang keberhasilan jajaran kepolisian mengamankan negara dari kejahatan) 
5.4.2. “Berdasarkan fakta sejarah, jelas bahwa orang-orang Islam adalah orang-orang yang meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan.” (Dengan mengutip sumber literatur yang hanya memuat tentang para pemikir Islam) 
5.4.3. “Teori evolusi jelas salah, menurut kitab suci.” 

Material Fallacies memang sebentuk kerancuan yang mesti dihindari. Meski demikian, bukan berarti hal semacam ini harus menjadi rambu-rambu ketat dalam kehidupan sehari-hari. Faktanya, banyak sekali ungkapan, percakapan, tulisan di media massa, ucapan politisi, sampai humor dari seorang stand-up comedian, yang mengandalkan kerancuan. Maka dari itu, material fallacies juga harus ditakar konteksnya, jangan sampai menghambat pergaulan sehari-hari dan juga upaya kita dalam menikmati hidup ini. 

Daftar Pustaka 

  • Kreeft, Peter. 2010. Socratic Logic. St. Augustine’s Press 
  • Sidharta, Arief. 2008. Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah. Bandung: Refika Aditama. 
  • http://examples.yourdictionary.com/non-sequitur-examples.html 
  • https://www.thoughtco.com/dicto-simpliciter-logical-fallacy-1690451
  • http://www.txstate.edu/philosophy/resources/fallacy-definitions.html


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me